Aneka Ragam Makalah

PROBLEMATIKA DAN SOLUSI | SISDIKNAS



Jika bermanfaat, Mohon di Share ya !. kalau sempat sumbang tulisannya ya !
A. Pendahuluan

Pendidikan secara umum didefinisikan sebagai sebuah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual kegamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Pendidikan dalam arti usaha sadar dan terencana mewujudkan proses belajar sepanjang hayat, menyentuh semua sendi kehidupan, semua lapisan masyarakat, dan segala usia. Jati diri itu pula yang menyebabkan semua orang merasa terlibat dan semua merasa bisa dalam masalah pendidikan dengan salah satu fenomena : praksis pendidikan di negara maju manapun, termasuk Indonesia, tidak pernah lekang dari kritik.

Sesungguhnya semenjak jaman perjuangan kemerdekaan dahulu, para pejuang serta perintis kemerdekaan telah menyadari bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat vital dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta membebaskannya dari belenggu penjajahan. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa di samping melalui organisasi politik, perjuangan ke arah kemerdekaan perlu dilakukan melalui jalur pendidikan.

Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan. Oeh karena itu, pendidikan sebagai sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa memiliki peranan yang sangat strategis. Pendidikan berkontribusi dalam mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang bermutu, dengan indikator penting berkualifikasi ahli, terampil, kreatif, inovatif serta memiliki attitude (sikap dan perilaku) positif.

Kita semua menyadari bahwa pada masa-masa yang akan datang kemajuan dan kejayaan suatu negara tidak lagi semata-mata ditentukan oleh kekayaan sumberdaya alam, melainkan lebih banyak ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki oleh negara tersebut. Oleh karena itu, pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya insani merupakan suatu usaha besar dan vital yang selalu diupayakan serta menjadi pusat perhatian setiap negara yang ingin memajukan bangsanya. Usaha dan perjuangan suatu negara dalam meningkatkan kecerdasan serta kemampuan bangsanya dapat dilihat dalam sistem pendidikannya.

Makalah ini dimaksudkan untuk membahas sistem pendidikan nasional sebagai upaya untuk membangun struktur dan strategi pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia, terutama dilihat dari segi konsepsi serta tujuan yang ingin dikejar, prinsip-prinsip yang melandasinya, serta strategi atau upaya-upaya nyata yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Di samping itu, realisasi serta praktek pelaksanaannya di lapangan juga dibahas serta persoalan-persoalannya diidentifikasikan dalam usaha untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan pemecahannya .

B. Pembahasan

1. Pendidikan sebagai Sistem

a. Definisi
Pendidikan pada hakikatnya merupakan sebuah sistem dan sebelum melangkah lebih jauh tentang sistem pendidikan terlebih dahulu diperkenalkan arti dari sistem itu sendiri. Banyak definisi yang digunakan untuk menjelaskan arti sistem, di antaranya sebagimana yang dijelaskan Tatang M Amirin adalah sebagai berikut :
  • Sistem adalah suatu kebulatan keseluruhan yang kompleks atau teorganisir, suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian –bagian yang membentuk suatu kebulatan/keseluruhan yang kompleks atau utuh.
  • Sistem merupakan himpunan komponen yang saling berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.
  • Sistem merupakan suatu sehimpunan komponen atau subsistem yang terorganisasikan dan berkaitan sesuai dengan rencana untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Meskipun definisi tersebut berbeda-beda namun dapat ditarik ciri-ciri umum dari sistem yang mencakup hal-hal berikut :
 Sistem merupakan suatu kesatuan yang terstruktur
 Kesatuan tersebut terdiri dari sejumlah komponen yang saling berpengaruh.
 Masing-masing komponen mempunyai fungsi tertentu dan secara bersama-sama melaksanakan fungsi struktur yaitu mencapai tujuan sistem.

Dengan demikian sistem dapat diartikan sebagai suatu kesatuan integral dari sejumlah komponen. Komponen-komponen tersebut satu sama lain saling berpengaruh dengan fungsinya masing-masing, tetapi secara fungsi komponen-komponen itu terarah pada pencapaian satu tujuan yaitu tujuan dari sistem.
Suatu komponen dapat berubah status menjadi sistem, apabila komponen tersebut dilihat secara tersendiri dan ternyata terdiri dari sejumlah sub-sub sistem. Jadi sistem pendidikan dapat dilihat dalam ruang lingkup mikro dan ruang lingkup makro. Untuk memperjelas perubahan komponen dari sistem menjadi sub sistem dan dari sub sistem menjadi sub-sub sistem berikut dijelaskan dalam bentuk diagram di bawah ini :

2. Konsep Sistem Pendidikan Nasional
Konsep sistem pendidikan nasional akan tergantung pada konsep tentang sistem, konsep tentang pendidikan dan konsep tentang pendidikan nasional. Konsep mengenai pendidikan dan sistem pendidikan nasional tidak bisa semata-mata disimpulkan dari praktek pelaksanaan pendidikan yang terjadi sehari-hari di lapangan, melainkan harus dilihat dari segi konsepsi atau ide dasar yang melandasinya seperti yang biasanya tersurat dan juga tersirat dalam ketetapan-ketetapan Undang-undang Dasar, Undang-undang Pendidikan dan peraturan-peraturan lain mengenai pendidikan dan pengajaran.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 yang merupakan produk pertama undang-undang pendidikan dan pengajaran sesudah masa kemerdekaan tidak memberikan definisi tentang konsep pendidikan, konsep pendidikan nasional, maupun konsep sistem pendidikan nasional. Hanya saja, dalam kata pembukanya yang ditulis oleh Mr. Muhd. Yamin, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan pada waktu itu, dikemukakan bahwa pendidikan nasional merupakan landasan pembangunan masyarakat nasional, yaitu masyarakat yang berkesusilaan nasional. Oleh karena itu, sistem pendidikan dan pengajaran lama secara berangsur-angsur harus digantikan dengan sistem pendidikan dan pengajaran nasional yang demokratis.

Pengertian yang lebih jelas mengenai pendidikan, pendidikan nasional dan sistem pendidikan nasional dapat dijumpai dalam Undang-undang Nomor. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang ini pendidikan didefinisikan sebagai “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara ( Pasal l, ayat l ). Pendidikan nasional didefinisikan sebagai “pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun l945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. (pasal 1 ayat 2 ). Sedangkan yang dimaksud dengan sistem pendidikan nasional sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional dalam pasal l ayat 3 adalah “keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Jadi dengan demikian, sistem pendidikan nasional dapat dianggap sebagai jaringan satuan-satuan pendidikan yang dihimpun secara terpadu dan dikerahkan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Sistem pendidikan nasional merupakan sistem pendidikan yang memandang manusia Indonesia seutuhnya tanpa diskriminasi, baik atas dasar ras, daerah, keturunan, derajat, kelamin, dan kekayaan, maupun atas dasar agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, dengan tetap menyadari dan memperhatikan corak Bhineka Tunggal Ika untuk memberikan kemungkinan perkembangan manusia Indonesia, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat.

3. Komponen Pokok Sistem Pendidikan nasional
Sistem sebagai organisme yang dirancang dan dibangun strukturnya secara sengaja, yang terdiri dari komponen-komponen yang berhubungan dan berinteraksi satu sama lain harus berfungsi sebagai suatu kesatuan yang utuh untuk mencapai tujuan khusus yang telah ditetapkan sebelumnya. Secara teoritis komponen dari suatu sistem pendidikan mencakup unsur-unsur: (1) dasar, dan asas (2) fungsi, (3) tujuan (4) jalur, jenis dan jenjang (5) komponen isi, (6) pelaksanaan : pengelolaan, administrasi, tenaga, media pendidikan, penerimaan murid, pembiayaan, partisipasi masyarakat, dan peraturan perundangan. Kesemua komponen pendidikan ini merupakan suatu sistem. Salah satu komponen berubah maka komponen komponen lain harus berubah agar terdapat keselarasan. Seandainya asas berubah maka tujuan harus berubah. Mengingat sistem pendidikan nasional mencerminkan watak nasional, maka menyusun sistem pendidikan nasional sesuatu negara harus mendasarkan ke dalam tiga faktor, yaitu (1) faktor natural (ras, bahasa, lingkungan geografik), (2) faktor-faktor religious, (3) faktor sekuler (humanisme, sosialisme dan nasionalisme).

Kalau pendidikan nasional kita benar-benar merupakan suatu sistem, maka ia setidak-tidaknya memiliki unsur-unsur pokok tersebut. Di samping itu, komponen-komponen sistem tersebut harus berhubungan dan berinteraksi secara terpadu. Suatu sistem (termasuk sistem pendidikan) dibangun dengan maksud untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu. Sistem dibangun dari komponen-komponen dan komponen-komponen bagian yang semuanya itu membentuk isi suatu sistem sebagai piranti untuk mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Mekanisme dan prosedur beroperasinya serta berfungsinya komponen-komponen suatu sistem dalam upaya mewujudkan tujuan sistem merupakan proses sistem tersebut.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang disahkan oleh DPR pada tanggal 11 Juni 2003, dan diberlakukan pada tanggal 8 Juli 2003 merupakan salah satu tuntutan gerakan reformasi tahun 1998 dalam bidang pendidikan, sebagai awal dari revolusi budaya . Dalam Batang Tubuh Undang-Undang tersebut memuat 22 Bab, dan 77 Pasal, adalah cukup ideal dan akomodatif dalam mengatur sistem pendidikan di Indonesia, termasuk sistem pendidikan Islam. Secara berturut-turut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Dasar, Fungsi dan Tujuan Pendidikan
Sebagaimana disebutkan dalam Bab II, pasal 2 bahwa : “Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945″. Secara konseptual, dasar pendidikan nasional ini mengandung nilai-nilai yang tidak diragukan lagi kehandalannya, amat ideal dan luhur, dan secara konsensus seluruh bangsa Indonesia sudah menerimanya. Karena hakekat kedua dasar tersebut secara filosofis merupakan bagian dari filsafat agama, artinya seluruh kandungan isi dan maknanya tidak bertentangan dengan ajaran agama. Karena itu, kedua dasar tersebut harus diterjemahkan dan ditafsirkan sesuai ajaran dan agama yang diakui negara, dengan pola menginternalisasikan nilai-nilai agama ke dalam seluruh kandungan isi dan makna kedua dasar tersebut. Dengan demikian, setiap penyelenggaraan negara termasuk penyelenggaraan satuan pendidikan akan terisi oleh nilai-nilai yang semakin identik dengan ajaran agama.

Sedangkan hakekat fungsi pendidikan nasional yang ditetapkan dalam Pasal 3, yakni : “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kalimat ini sederhana, namun memiliki makna yang dalam dan luas. Di mana bangsa yang cerdas adalah bangsa yang dibangun atas tiga pilar. Pertama, memiliki kemampuan dalam menguasai berbagai aspek kehidupan, baik aspek ekonomi, sosial, politik, hukum, ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun aspek agama. Kedua, memiliki watak kepribadian yang luhur dan anggun, patriotis dan nasionalis, serta watak bekerja keras dalam memenuhi kebutuhan hidup. Ketiga, memiliki peradaban yang humanis religius, serta kewibawaan yang tinggi, sehingga bangsa-bangsa lain tidak memperlakukan dan mengintervensi bangsa Indonesia sekehendaknya.

Untuk itu, setiap satuan pendidikan, dituntut dalam programnya mencerminkan tiga pilar tersebut, sehingga dapat mencerdaskan kehidupan peserta didik. Dengan kata lain, pendidikan Islam dituntut mampu mengembangkan kemampuan peserta didik dalam menguasai berbagai aspek kehidupan termasuk aspek ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dipandu secara utuh oleh keimanan dan ketakwaan, sehingga akan menampilkan sosok manusia yang berketrampilan luhur dan tinggi.

Selanjutnya, tujuan pendidikan yang ditetapkan dalam pasal tersebut adalah : “Untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Dari kutipan tentang tujuan dan fungsi pendidikan nasional tersebut di atas, tampak jelas betapa pendidikan nasional diharapkan melahuirkan manusia baru yang berakhlak, bermoral, berkepribadian, dinamis, dan profesional; manusia yang berkualitas yang mampu mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur.

Implikasi pedagogik adalah menuntut terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran yang kondusif, harmonis, dan penuh dialogis. Proses pembelajaran yang seperti ini akan mendorong peserta didik untuk secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan iman, kedalaman ilmu, dan ketrampilan profesional, sehingga dapat bertanggung jawab dalam mengemban tugas hidupnya sebagai individu maupun makhluk sosial.

2) Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan
Sebagaimana ditetapkan dalam Bab III, pasal 4 ayat 1 : “Pendidikan diselenggarakan dengan prinsip demokratis, berkeadilan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa; prinsip satu kesatuan yang sistemik; prinsip pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik; prinsip keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik; prinsip pengembangan budaya membaca, menulis dan berhitung; prinsip pemberdayaan semua komponen masyarakat”.

Prinsip penyelenggaraan pendidikan yang seperti ini menunjukkan prinsip yang holistik (menyeluruh), terbuka dan akomodatif dari berbagai aspirasi atau tuntutan masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak bangsa. Aksentuasi prinsip-prinsip tersebut terletak pada penyelenggaraan pendidikan yang demokratis, berkeadilan, desentralisasi, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pendidikan yang seperti ini akan memberikan kebebasan dalam berfikir dan berkreasi positif bagi anak didik, serta terbuka bagi masyarakat.
Implikasi pedagodik adalah menuntut agar dalam penyelenggaraan satuan pendidikan diletakkan pada prinsip berwawasan semesta, demok¬ra¬tis, keterpaduan yang sistemik, pembudayaan dan pem¬ber¬daya¬an, uswatun hasanah (teladan yang baik), dan menjunjung tinggi hak asasi ma¬nusia. Dari prinsip-prinsip inilah akan melahirkan paradigma baru dalam pendidikan nasional.

3) Hak dan Kewajiban
Dijelaskan dalam Bab IV, pasal 5 : “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, dan “Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”. Konsep ini lebih menekankan pada pemerataan pendidikan bagi setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Ada indikasi bahwa permasalahan menonjol yang dihadapi pendidikan nasional, sebagaimana diungkapkan mantan Mendiknas Yahya A. Muhaimin, yaitu : (1) masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan, (2) masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan, dan (3) masih lemahnya manajemen pendidikan”.

Ditetapkannya hak dan kewajiban warga negara tersebut dalam rangka mengantisipasi, mengatasi dan menuntaskan adanya kesenjangan memperoleh pendidikan yang bermutu. Untuk itu semua warga negara (orang tua, masyarakat, dan Pemerintah/Pemerintah Daerah) dilibatkan secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan. Untuk tujuan itu UU Sisdiknas mempersyaratkan adanya badan hukum pendidikan, sebagaimana diamanatkan pasal 53 UU Sisdiknas: “(1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan, (2) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri”.

Implikasi pedagogik, adalah menuntut agar pendidikan dapat meningkatkan pemerataan, mutu dan relevansi pendidikan, serta manajemen pendidikan bagi warga negara dalam memperoleh pendidikan. Hak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu bagi semua pihak itu tentu pula ditindaklanjuti dengan menghilangkan diskriminasi dari Pemerintah, baik antara sekolah swasta dengan negeri maupun Islam dengan umum.

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, ditegaskan perlu adanya kerja sama yang lebih erat, kokoh, teratur dan merata antara Pemerintah, masyarakat dan sekolah (negeri/swasta) dalam mengatasi berbagai persoalan yang terjadi di dunia pendidikan termasuk dunia pendidikan Islam, terutama terkait dengan masalah pemerataan pendidikan, mutu dan relevansi pendidikan, serta manajemen pendidikan.

4) Peserta Didik
Ditetapkan dalam Bab V, pasal 12 bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak : “mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”, dan “mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya”. Substansi Bab ini menekankan arti pentingnya pendidikan agama bagi peserta didik yang sesuai dengan agama yang dianutnya, karena bertujuan untuk melindungi akidah agama dalam rangka meningkatkan keimanan dan ketakwaan sesuai dengan agama yang dianutnya. Pendidik dan/atau guru agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi dan/atau disediakan oleh Pemerintah atau pemerintah Daerah sesuai kebutuhan satuan pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 41 ayat (3). Hal ini sebagai realisasi dari Pancasila, terutama sila pertama : “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31 ayat 3 : “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa …”, serta untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, sebagaimana di atas.

Implikasi pedagogik adalah Pendidikan agama ini memiliki transmisi spiritual yang lebih nyata dalam proses pembelajaran. Kejelasannya terletak pada keinginan untuk mengembangkan keseluruhan aspek dalam diri anak didik secara berimbang, baik aspek intelektual, imajinasi dan keilmiahan, kultural serta kerpibadian. Hak peserta didik untuk mendapatkan pendidikan agama, perlu disesuaikan dengan bakat, minat dan kemampuannya. Karena itu, dalam mengimplementasikan pasal tersebut perlu ditekankan kepada penciptaan atmosfir dan proses pembelajarannya, sehingga peserta didik benar-benar memahami, menghayati, dan mengamalkan dari setiap apa yang diajarkan.

5) Bentuk Penyelenggaraan Pendidikan
Dalam Bab VI dijelaskan secara rinci mengenai jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Pada pasal 13 ayat 1 dan 2 disebutkan : “Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya”, dan “diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh”. Tentang jenjang disebutkan pada pasal Pasal 14: “Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi”. Dan tentang jenis pendidikan disebutkan pada Pasal 15 : “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus”.

Dalam penjelasan pasal 13 cukup jelas. Namun di sini ada kalimat yang menimbulkan berbagai penafsiran, yakni “yang dapat saling melengkapi dan memperkaya”. Jika kata “melengkapi” ini tidak dijelaskan secara rinci dalam konteks apa ia digunakan, maka akan timbul penafsiran-penafsiran lain.

Pengertian ini bisa menunjukkan tiga konteks; pertama, adanya suatu barang tapi kurang lantas ditambah, sehingga menjadi lengkap, kedua adanya suatu barang, lantas ditambah barang lain, dan ketiga, tidak adanya suatu barang, lantas diadakan.

Jika konteks pertama digunakan dalam menafsirkan kata “melengkapi”, maka akan menunjukkan bahwa program-program yang ada pada jalur pendidikan formal yang kurang/belum terlaksana, akibat faktor lain seperti sedikitnya waktu belajar, kurangnya sarana dan prasarana, atau belum terpahamkannya program tersebut oleh peserta didik, dan lain sebagainya, maka dapat ditambah program-program tersebut melalui jalur pendidikan nonformal atau informal, yang berfungsi sebagai penambah atau pendukung program yang sudah ada.

Implikasinya sama-sama diakui keberadaannya tetapi tidak disetarakan hasil pendidikannya. Sebagai contoh misalnya, keberadaan antara Madrasah Ibtidaiyah (MI) sebagai jalur pendidikan formal, dengan Taman Pengajian Al-Qur’an (TPA atau TPQ) sebagai jalur pendidikan nonformal. Dengan demikian, pasal 26 ayat 6 tentang hasil pendidikan nonformal, dan pasal 27 ayat 2 tentang hasil pendidikan informal perlu ditinjau kembali.

Jika konteks kedua digunakan digunakan dalam menafsirkan kata “melengkapi”, maka akan menunjukkan bahwa program-program yang ada di jalur pendidikan formal, dan sudah terlaksana dengan baik atau sempurna, maka bisa menambah program-program lain yang tidak ada di jalur pendidikan formal, melalui jalur pendidikan nonformal atau informal yang berfungsi sebagai pelengkap. Jika penafsiran ini yang digunakan maka sebagai salah satu syarat adalah peserta didik harus menempuh jalur pendidikan formal.

Implikasinya sama-sama diakui keberadaannya, dan hasil pendidikannya disetarakan dengan hasil program pendidikan formal melalui proses penilaian atau lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. Dengan demikian pasal 26 ayat 6, dan pasal 27 ayat 2 perlu ditindak lanjuti.

Konteks ketiga, jika konteks ini yang digunakan dalam menafsirkan kata “melengkapi”, maka menunjukkan bahwa program-program yang tidak ada di jalur pendidikan formal, dapat diadakan dan dikembangkan melalui jalur pendidikan nonformal atau informal yang bersifat pengganti. Dengan demikian pasal 26 ayat 6, dan pasal 27 ayat 2, perlu ditindak lanjuti.

Namun perlu di garis bawahi, jika peserta didik hanya menempuh pada jalur pendidikan nonformal, atau informal dengan mendasarkan pada pasal 26 ayat 6 dan pasal 27 ayat 2, dan tidak mengikuti jalur pendidikan formal, maka sangat dikhawatirkan, ke depan jalur pendidikan formal akan mengalami degradasi, karena ditinggalkan atau tidak dimasuki lagi oleh peserta didik, dan ini akan menimbulkan persoalan yang lebih kompleks lagi, terutama masalah aturan yang menyangkut syarat rekruitmen calon pegawai negeri atau swasta, atau menyangkut masalah diversifikasi kurikulum yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang ini.

Oleh karena itu pasal 13, pasal 26 ayat 6 dan pasal 27 ayat 2 perlu adanya penjelasan yang jelas dan rinci. Demikian juga kata “jarak jauh” sering diartikan dengan kelas jauh, padahal maknanya sangat jauh berbeda. Pemerintah di era Reformasi lebih radikal dalam memasukkan kebijakan pendidikan agama (religius education) dalam Undang-Undang. Dijelaskan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan formal yang diakui baik pada level dasar maupun level lanjutan. Pasal 17 ayat 2 berbunyi : “Bentuk pendidikan dasar adalah Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau sekolah-sekolah lain yang sederajat, dan pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) ada Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau sekolah-sekolah lain yang sederajat”.

Pasal 18 ayat 3 menyebutkan : “Bentuk dari Sekolah Menengah Umum (SMU) adalah Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA) juga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau sekolah-sekolah lain yang sederajat”.

Demikian juga dengan pesantren. Lembaga pendidikan asli Indonesia ini secara eksplisit telah diakui eksistensinya. Dalam pasal 30 ayat 4 disebutkan : “Bentuk pendidikan agama bisa berupa pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera dan pendidikan lain yang sejenis” .

Tetapi sayangnya, berbagai kebijakan pemerintah yang relatif membawa angin segar bagi pengembangan pendidikan Islam tersebut kurang dapat diimplementasikan dengan baik.

6) Standar Nasional Pendidikan
Sebagaimana ditetapkan dalam Bab IX, pasal 35, disebutkan : “Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala”. Konsep ini jelas dan rinci sebagai bahan acuan dalam penyelenggaraan satuan pendidikan termasuk acuan pengembangan program-programnya. Oleh karena itu, implikasi pedagogiknya adalah setiap penyelenggaraan satuan pendidikan, harus mengacu kepada standar nasional pendidikan tersebut, sehingga dapat secara kompetitif dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan.Dalam rangka melaksanakan BAB IX ini, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang meliputi 8 standar yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan.

7) Kurikulum
Sebagaimana ditetapkan dalam Bab X pasal 36, 37, 38 yang intinya dijelaskan : “Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik”. Pengembangan kurikulum yang ditetapkan ini, dalam rangka membekali peserta didik dengan berbagai kemampuan yang sesuai dengan tuntutan zaman. Kurikulum pendidikan formal bukan disusun berdasarkan kebutuhan yang terletak di luar perkembangan peserta didik seperti standarisasi yang ditentukan negara, tetapi yang ditentukan oleh tingkat dan kebutuhan peserta didik.

Seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah, yang berpengaruh juga pada pemberian otonomi pendidikan, menuntut adanya pengembangan kurikulum yang lebih akomodatif di sekolah. Oleh karena itu, setiap satuan pendidikan dituntut untuk mampu mengembangkan kurikulum, selain mengacu pada standar nasional pendidikan, juga harus mengacu pada keragaman kultur, dan potensi lingkungan daerah, sebagai bentuk pengembangan kurikulum muatan lokal, yakni menggali dan memberdayakan keragaman kultur dan potensi daerah sebagai bagian dari pengembangan kurikulum pendidikan. Dengan mengorientasikan pada peningkatan keimanan dan ketakwaan sebagai pemandu dalam menggali ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menggali dan memberdayakan keragaman kultur dan potensi daerah, akan tampil sosok yang berketrampilan dan berakhlak mulia dalam rangka memenuhi tuntutan dunia kerja.

8) Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Fokus analisis ini lebih diarahkan pada pasal 40 ayat 2. Alasannya pasal dan ayat inilah inti dalam Bab XI. Dalam pasal dan ayat tersebut dijelaskan : “Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban : Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis; Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya”. Konsep yang ideal ini jika dapat diaplikasikan dalam setiap penyelenggaraan satuan pendidikan\, maka akan terwujud akuntabilitas lembaga pendidikan yang mandiri menuju keunggulan, dan pada gilirannya akan mewujudkan kemajuan suatu bangsa dan negara. Seorang pendidik profesional selain memenuhi tuntutan-tuntutan formal dari suatu profesi seperti pendidikan, sertifikat pendidik, tetapi juga memerlukan kualitas etis sebagai tuntutan utama.

Tentunya kewajiban-kewajiban pendidik dan tenaga kependidikan seperti inilah yang dituntut dan diharapkan, sebab pendidik dan tenaga kependidikan merupakan kunci dalam peningkatan mutu pendidikan dan mereka berada di titik sentral dari setiap usaha reformasi pendidikan yang diarahkan pada perubahan-perubahan kualitatif. Setiap usaha peningkatan mutu pendidikan seperti pembaharuan kurikulum, pengembangan metode-metode mengajar, penyediaan sarana dan prasarana hanya akan berati manakala melibatkan tenaga pendidik (guru/dosen) dan tenaga kependidikan.

Namun demikian, kewajiban-kewajiban yang luhur dan amat berat tersebut, perlu diimbangi dengan peningkatan gaji yang merupakan hak bagi guru sebagaimana ayat 1 huruf a yang menyatakan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai. Untuk itu, perlu dibuat peraturan gaji khusus untuk pendidik dan tenaga kependidikan yang memungkinkan struktur penggajian tersebut berbeda dengan PNS lainnya, sehingga pendidik dan tenaga kependidikan tidak perlu melakukan aktivitas-aktivitas lain, selain berkonsentrasi secara profesional dalam menjalankan tugas-tugas yang luhur dan berat tersebut. Realisasi dari harapan ini adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

9) Sarana dan Prasarana Pendidikan
Sebagaimana ditetapkan dalam Bab XII pasal 45 ayat 1 dijelaskan bahwa : “Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik”. Pasal ini menekankan pentingnya sarana dan prasarana dalam satuan pendidikan, sebab tanpa didukung adanya sarana dan prasarana yang relevan, maka pendidikan tidak akan berjalan secara efektif.

Pendayagunaan sarana dan prasarana (hardware) tidak hanya secara fungsional membuat lembaga pendidikan Islam bersifat efektif, efisien, melainkan lebih dari itu akan memunculkan citra di mata publik sebagai lembaga yang bergengsi. Namun di sini yang lebih ditekankan adalah sarana dan prasarana yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan semua potensi peserta didik, dan disesuaikan dengan kondisi daerah di mana satuan pendidikan itu diselenggarakan, serta kemampuan pengelola dalam menggunakannya.

10) Pendanaan Pendidikan
Fokus dari analisis ini lebih diarahkan pada pasal 46 ayat 1 yang menetapkan: “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat”. Dan pasal 47 ayat a dan 2, yakni : “Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan berkelanjutan, dan Pemerintah, Pemerintah Daerah, serta masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pasal 48 tentang Pengelolaan Dana Pendidikan disebutkan: “Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik”. Dan Pasal 49 tentang Pengalokasian Dana Pendidikan, disebutkan ayat 1 : “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”.

Dengan rumusan tersebut pendidikan kedinasan tetap diakomodasi dalam sistem pendidikan nasional, namun harus diselenggarakan secara mandiri atau swadana atau dana tersendiri melalui APBN dan APBD. Selama ini pendidikan kedinasan telah menyerap banyak sekali dana yang oleh Depkeu RI, dihitung sebagai dana pendidikan, sehingga mengambil porsi dari dan pendidikan yang diperuntukkan untuk anak-anak bangsa.

Pasal 49 ini juga nampak terlalu politis, artinya keberanian pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengalokasikan dana untuk sektor pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan adalah minimal 20 persen dari APBN dan APBD, ditambah lagi dalam pasal 34 ayat 2, disebutkan bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Jika hal ini dapat diwujudkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, maka akan dapat membantu benar dalam suksesnya pendidikan di Indonesia, namun di sini lagi-lagi ada tambahan kata “bersama dengan masyarakat”.

Di sinilah letak politisasi tersebut, sehingga pihak sekolah pada jenjang pendidikan dasar, masih ada pemungutan biaya sekolah. Namun demikian tidak menjadi masalah, asal pemerataan, mutu dan relevansi pendidikan, serta manajemen pendidikan lebih ditingkatkan, sehingga dapat mengantarkan anak didik untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

11) Pengelolaan Pendidikan
Dalam Pasal 50 menyebutkan bahwa Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab Menteri. Meskipun pasal ini menyebutkan tanggung jawab pengelolaan sidiknas di tangan menteri namun dalam pelaksanaannya pemerintah melalui Pemerintah Daerah Propinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah Kabupaten/Kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Dari pasal ini nampaknya pemerintah berupaya meningkatkan mutu pendidikan melalui penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah Kabupaten/Kota. Lebih lanjut lagi dalam pasal 51 dinyatakan bahwa Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah dan dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.

12) Peran Serta Masyarakat dalam Pendidikan
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003, peran masyarakat menjadi bagian yang integral dalam sistem pendidikan nasional. Peran ini dinyatakan dalam Pasal 54 Yang menyebutkan : “ Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan” . Disebutkan pula bahwa Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 ini, masyarakat juga diberikan kesempatan untuk menyelenggarakan pendidikan Berbasis Masyarakat sebagaimana disebutkan dalam pasal 55 : “ Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat” dan Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.

13) Evaluasi, Akreditasi dan Sertifikasi
Evaluasi pendidikan dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Tentang kewenangan evaluasi dijelaskan dalam pasal 58 yang menyebutkan : “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan dan Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan”.

Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan di atur dalam pasal 60 dan yang berhak melakukan akreditasi adalah Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik atas dasar kriteria secara terbuka. Sedangkan Sertifikasi diatur dalam pasal 61 yang menyebutkan :”Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi”.

4. Realisasi Sistem Pendidikan Nasional dan Permasalahannya
a. Realisasi Sistem Pendidikan Nasional
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 yang kita anggap sebagai sumber utama gagasan sistem pendidikan nasional telah berusia 7 tahun. Peraturan-peraturan pemerintah yang memberikan pedoman pelaksanaannya juga telah disusun di antaranya Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2008 tentang Wajib Belajar, Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, Permendiknas Nomor 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran, Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah, Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah, Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan, Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan, Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Permendiknas Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana,, Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tetang Standar Proses.

Perlu disadari bahwa UU Nomor 20 Tahun 2003 tidak mungkin dapat mengatur semua kegiatan pendidikan yang terjadi di lapangan. Undang-undang pendidikan nasional hanya mampu memberikan arah, dan mem-berikan prinsip-prinsip dasar untuk menuju arah tersebut, serta mengatur prosedurnya secara umum. Realitas pelaksanan pendidikan di lapangan akan banyak ditentukan oleh petugas yang berada di barisan paling depan, yaitu guru, kepala sekolah dan tenaga-tenaga kependidikan lainnya.

b. Masalah-Masalah Pendidikan Yang Ada Sekarang
Pendidikan kita sekarang ini setidak-tidaknya sedang dihadapkan pada empat masalah besar: masalah mutu, masalah pemerataan, masalah motivasi, dan masalah keterbatasan sumberdaya dan sumber dana pendidikan.
1) Mutu atau kualitas pendidikan kita masih rendah. Beberapa indikatornya yaitu mutu guru pada semua jenjang pendidikan masih rendah. Begitu pula alat-alat bantu proses belajar-mengajar seperti buku teks, peralatan laboratorium dan bengkel kerja yang memadai.

2) Relevansi pendidikan atau efisiensi pendidikan eksternal. Suatu sistem pendidikan diukur antara lain dari keberhasilan sistem itu dalam memasok tenaga-tenaga terampil dalam jumlah memadai bagi kebutuhan sektor pembangunan. Melihat lulusan pendidikan kita tampak semakin besarnya pengangguran sekolah menengah dan pendidikan tinggi. Hal ini disebabkan bukan hanya kesenjangan antara “supply” sistem pendidikan dengan “demand” tenaga yang dibutuhkan oleh berbagai sektor ekonomi tetapi juga karena isi kurikulum yang tidak sesuai dengan perkembangan ekonomi atau kemajuan Iptek.

3) Penyelenggara negara, baik DPR maupun pemerintah, sejak MPR melakukan perubahan (Amandemen) UUD 1945 yang keempat tanggal 10 Agustus 2002. Salah satunya adalah mengamandemen pasal 31 UU 1945 dengan menambahkan beberapa ayat di antaranya yaitu Ayat (2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Ayat (4) “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. sama sekali tidak mengindahkan amanat UUD 1945 dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pengalokasian Dana Pendidikan, seperti terbukti dalam RUU APBN tahun 2006. Dalam RUU itu ditetapkan anggaran pendidikan kurang dari 9 persen. Karena itu ISPI dengan PGRI mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Tiadanya kemauan politik untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari APBN dan APBD dalam APBN 2006 dapat dipandang sebagai pelanggaran UUD 1945.

4) Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional belum bermakna bagi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa karena sekolah/lembaga pendidikan belum dirancang dan diselenggarakan sebagai pusat pembudayaan segala kemampuan, nilai, dan sikap, manusia modern, melainkan hanya tempat mendengar, mencatat, dan menghafal.
5) Desentralisasi manajemen pendidikan dasar. Hal ini tentunya memerlukan berbagai program, sarana dan tenaga kependidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah serta kemampuan untuk menyusun kurikulum lokal yang dijabarkan dari kurikulum nasional serta menyiapkkan alat-alat bantu belajar yang sesuai dengan jabaran kurikulum itu. Dan hal ini tidak mudah dan memerlukan biaya yang mahal.

6) Pendidikan kita sekarang ini tampaknya lebih menekankan pada akumulasi pengetahuan yang bersifat verbal dari pada penguasaan keterampilan, internalisasi nilai-nilai dan sikap, serta pembentukan kepribadian. Di samping itu kuantitas tampaknya lebih diutamakan dari pada kualitas. Persentase atau banyaknya lulusan lebih diutamakan daripada apa yang dikuasai atau bisa dilakukan oleh lulusan tersebut. Evaluasi pendidikan yang berupa evaluasi hasil belajar seperti UAN tidak dapat diharapkan berdamak pada tercapainya tujuan pendidikan nasional. Pasalnya, menurut hasil penelitian Benjamin Bloom, sebagaimana yang dikutip Prof. Soedijarto, tingkah laku belajar peserta didik akan dipengaruhi oleh perkiraan peserta didik tentang apa yang akan diujikan. Dengan demikian, kalau yang akan diujikan adalah penguasaan pengetahuan yang telah dihafal, dengan sendirinya peserta didik akan belajar materi yang akan diujikan dan mengabaikan kegiatan belajar yang tidak diujikan, seperti belajar meneliti, menulis makalah, mengapresiasi karya sastra dan berbagai proses belajar yang bermakna transformasi budaya.

7) Pola motivasi sebagian besar peserta didik lebih berorientasi pada penampilan (performance) daripada pencapaian suatu prestasi (achievement), suatu bentuk motivasi yang lebih mengutamakan kulit luar daripada isi. Ijazah atau gelar lebih dipentingkan daripada substansi dalam bentuk sesuatu yang benar-benar dikuasai dan mampu dikerjakan.

8) Kualitas proses dan hasil pendidikan belum merata di seluruh tanah air. Masih ada kesenjangan yang cukup besar dalam proses dan hasil pendidikan di kota dan di luar kota, di Jawa dan di luar Jawa. Pendidikan kita sekarang ini masih belum berhasil meningkatkan kualitas hasil belajar sebagian besar peserta didik yang pada umumnya berkemampuan sedang atau kurang. Pendidikan kita mungkin baru berhasil meningkatkan kemam-puan peserta didik yang merupakan bibit unggul.

9) Pendidikan kita sekarang, juga masih dihadapkan pada berbagai kendala, khususnya kendala yang berkaitan dengan sarana/prasarana, sumberdana dan sumberdaya, di samping kendala administrasi dan pengelolaan. Administrasi serta sistem pengelolaan pendidikan kita pada hakikatnya masih bersifat sentralistis yang sarat dengan beban birokrasi . Oleh karena itu persoalan-persoalan pendidikan masih sulit untuk ditangani secara cepat, efektif dan efisien.

Apabila kondisi pendidikan seperti ini berlangsung terus dan tidak bisa diubah, disangsikan apakah bangsa kita dapat bersaing dengan bangsa lain pada masa-masa yang akan datang.Dalam menghadapi persaingan dalam mengejar keunggulan, khususnya keunggulan dalam bidang ekonomi, manusia Indonesia barus bisa ditingkatkan kualitasnya. Manusia yang berkualitas hendaknya tidak diartikan sebagai manusia yang sekedar berpengetahuan luas, melainkan juga manusia yang terampil, ulet, kreatif, efisien dan efektif, sanggup bekerja keras, terbuka, bertanggung jawab, punya kesadaran nilai dan moral, di samping tentu saja beriman dan taqwa. Di samping itu, haruslah diupayakan agar sebagian besar manusia Indonesia dapat memiliki sifat-sifat tersebut. Sebagai suatu perbandingan, keberhasilan pendidikan Jepang terletak pada kesanggupannya meningkatkan kemampuan sebagian besar anak didik mereka dengan cara mendorong dan mengajar mereka bekerja keras sejak awal untuk mencapai prestasi yang maksimal dan tidak semata-mata mengandalkan pada bakat dan kemampuan alamiah. Sebaliknya, pendidikan Amerika lebih meng¬andal-kan hasil pendidikannya dari anak-anak yang memiliki kemampuan tinggi.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 telah meletakkan landasan bagi pembangunan sistem pendidikan nasional yang dapat dijadikan sebagai titik acuan dalam pengembangan pendidikan lebih lanjut. Apabila kita percaya bahwa kemampuan survival bangsa kita dimasa-masa yang akan datang ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia yang dimilikinya, begitu juga apabila kita percaya bahwa pendidikan merupakan cara terbaik untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, maka sistem pendidikan nasional harus diupayakan agar dapat memecahkan masalah serta mengatasi kendala-kendala yang disebutkan di atas.

c. Usaha-usaha ke arah pemecahan masalah
Sesuai dengan masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tugas utama dalam pelaksahaan sistem pendidikan nasional kita adalah bagaimana meningkatkan kualitas proses pendidikan sehingga dapat menghasilkan tenaga kerja berkualitas yang kompetitif untuk bersaing setidak-tidaknya dengan tenaga kerja lain di kawasan Asia Tenggara. Perjuangan dalam meningkatkan mutu pendidikan menuntut adanya kerja keras dari semua tenaga kependidikan serta kerjasama antara sesama satuan pendidikan. Terlebih, dalam dasawarsa ini diperkirakan akan terjadi transformasi sosial budaya dalam lima poros penting yaitu politik, ekonomi, manusia dan masyarakat, budaya serta sains dan teknolog yang membawa dampak terhadap dunia pendidikan yang berusaha meningkatkan mutunya.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak secara eksplisit mengatur masalah mutu pendidikan, melainkan hanya menyebutkan faktor-faktor yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi mutu pendidikan, seperti: tujuan pendidikan, peserta didik, tenaga kependidikan, sumberdaya pendidikan, kurikulum, evaluasi, pengelolaan dan pengawasan.

Mangieri menyebutkan 8 faktor yang paling sering disebut-sebut sebagai faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan . Kedelapan faktor tersebut adalah; kurikulum yang ketat, guru yang kompeten, ciri-ciri keefektifan, penilaian, keterlibatan orang tua dan dukungan masyarakat, pendanaan yang memadai, disiplin yang kuat, dan keterikatan pada nilai-nilai tradisional. Komisi nasional mengenai keunggulan dalam bidang pendidikan Amerika dalam laporannya yang terkenal berjudul A Nation at risk merekomendasikan bahwa keunggulan (exellence) dalam bidang pendidikan dapat diwujudkan melalui cara-cara berikut: menambah banyaknya pekerjaan rumah, mengajar siswa sejak permulaan keterampilan belajar dan bekerja, melakukan pengelolaan kelas yang lebih baik, sehingga waktu sekolah bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin, menerapkan aturan yang tegas mengenai tingkah laku di sekolah dan mengurangi beban administrasi guru.

Persoalan kedua adalah bagaimana mendemokratiskan sistem pendidikan dalam arti yang sesungguhnya. Semua pasal 4,5, dan 6 UU Nomor 20 Tahun 2003 mengatur agar sistem pendidikan nasional kita memberikan kesempatan yang sama kepada semua warga negara untuk memperoleh pendidikan secara demokratis. Namun dalam praktek, kesempatan tersebut baru terbatas pada kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan – yang cukup banyak di antaranya masih berkualitas rendah – belum kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas tinggi. Pendidikan yang rendah kualitasnya tidak banyak memberikan makna dalam kehidupan. Karena kualitas ditentukan oleh biaya, pendidikan yang berkualitas baru bisa diriikmati oleh sebahagian kecil warganegara yang memiliki kelebihan dalam kemampuan intelektual maupun kemampuan ekonomis.

Usaha untuk mendemokratiskan serta memeratakan kesempatan memperoleh pendidikan yang berkualitas antara lain dapat dilakukan dengan menstandarisasikan fasilitas lembaga penyelenggara pendidikan dan menyelenggarakan kewajiban belajar. Semua lembaga pendidikan yang sejenis, apakah lembaga pendidikan tersebut berada di Jawa atau di luar Jawa perlu diusahakan agar memiliki fasilitas pendidikan yang setara dan seimbang: antara lain dalam bentuk gedung yang memadai, perlengkapan serta peralatan belajar yang mencukupi, kualifikasi guru yang memenuhi syarat dengan sistem insentif yang mendorong kegairahan kerja, dan satuan pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata. Standarisasi fasilitas dan kondisi pendidikan diharapkan dapat menghasilkan standarisasi mutu. Dengan cara ini pada saatnya nanti, anak-anak yang berdomisili di luar Jawa tidak banyak lagi yang menginginkan bersekolah di Jawa, karena mutu pendidikan di daerah mereka setara atau malahan lebih tinggi dibandingkan dengan mutu pendidikan di Jawa.

Kewajiban belajar merupakan upaya lain untuk mendemokratiskan kesempatan memperoleh pendidikan. Melalui kewajiban belajar yang diselenggarakan dan dibiayai oleh negara, semua anak Indonesia akan memperoleh kesempatan untuk mengikuti pendidikan sampai pada usia atau tingkat pendidikan tertentu. Melalui kewajiban belajar usaha untuk menaikkan tingkat pendidikan sebagian besar warga-negara dapat dilakukan secara lebih cepat. Pasal 34 ayat 1 UU Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa setiap warganegara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar.

Sulit diterima kalau ada orang yang mengatakan bahwa anak-anak yang hidup pada masa sekarang ini kurang cerdas bila dibandingkan dengan anak-anak dari generasi sebelumnya. Soalnya kondisi kehidupan pada masa sekarang ini jauh lebih baik dari masa sebelumnya. Namun demikian, ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa prestasi belajar anak-anak sekarang ini untuk beberapa bidang studi tertentu cukup memprihatinkan. Satu-satunya alasan yang bisa dipergunakan untuk menerangkan gejala ini adalah bahwa mereka kurang memiliki motivasi untuk belajar. Mereka pada umumnya kurang tekun, cepat menyerah kalau menghadapi kesulitan, dan lebih menyukai pelajaran yang mudah daripada pelajaran yang sukar. Oleh karena itu, adalah merupakan tanggung jawab semua lembaga pendidikan untuk menanamkan kesadaran kepada peserta didiknya akan pentingnya usaha dan kerja keras dalam belajar.

4. Ringkasan dan Kesimpulan
Konsep dasar pendidikan nasional dan sistem pendidikan nasional telah dikemukakan. Sistem pendidikan nasional dengan berbagai komponen dan unsur-unsur pokoknya mempunyai peranan yang strategis dalam upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia di masa yang akan datang. Upaya pembangunan sistem pendidikan nasional yang dapat diandalkan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya merupakan suatu usaha besar yang cukup rumit pengaturan maupun pelaksanaannya, akan tetapi mempunyai fungsi yang sangat vital. Oleh karena itu, penanganan masalah pendidikan harus dilakukan secara bersistem, karena tidak pernah akan tuntas kalau dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pendidikan secara individual melalui cara-cara yang bersifat monolitik. Dengan perkataan lain, semua komponen sistem pendidikan (aparat pemerintah, keluarga, sekolah, masyarakat, media massa) harus berperan serta dan memilki komitmem yang kuat untuk mencerdaskan bangsa sebagaimana tujuan pendidikan nasional. Namun demikian, agar semua usaha tersebut dapat mencapai tujuannya secara rnaksimal, usaha-usaha tersebut perlu diatur melaiui suatu strategi nasional yang memiliki landasan yang kuat.

Melihat luasnya tujuan yang ingin dicapai, banyaknya komponen yang terlibat, serta terbatasnya sarana pendukung dalam proses pelaksanaannya, realisasi sistem pendidikan nasional tentu saja akan dihadapkan pada berbagai kendala. Namun demikian, landasan sistem pendidikan nasional telah diletakkan sebagai titik acuan dalam usaha melakukan pembenahan lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA
  • Arifin, Anwar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, cetakan pertama,Jakarta: Balai Pustaka, 2005
  • Amirin, Tatang M, Pokok-pokok Teori Sistem, Jakarta : Rajawali Pers, l992
  • Mangieri , John N,. The challenge of attaining excellence, dalam Mangieri, John N. ( Editor ) Excellence in Education, Texas Christian University Press, 1985.
  • Pasaribu, I.L. dan B. Simanjuntak, Pendidikan Nasional (Tinjauan Paedagogik Teoritis), Bandung : Penerbit Tarsito,1982
  • Soedijarto, Pendidikan Nasional sebagai Proses Transformasi Budaya, cetakan pertama, Jakarta : Balai Pustaka, 2003
  • —————, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2008.
  • Tirtaraharja, Umar, Pengantar Pendidikan, Cetakan kedua, Jakarta : Rineka Cipta, 2005
  • Tilaar, H.A.R., Manajemen Pendidikan Nasional, Kajian Pendidikan Masa Depan, cetakan keenam, Bandung; Remaja Rosdakarya, 2006
  • ——————-, Kredo pendidikan (my pedagogical credo), cetakan pertama, Jakarta : Lembaga Manajemen UNJ, 2009
  • Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, l989.
  • Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya, Surabaya: Kesindo, 2009.
  • Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Surabaya: Kesindo, 2009
  • Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Nasional Pendidikan.


Makalah atau artikelnya sudah di share, makasih ya !

Mau Makalah Gratis! Silahkan Tulis Email Anda.
Print PDF
Previous
Next Post »
Copyright © 2012 Aneka Makalah - All Rights Reserved